5/29/2020

Keberpihakan Bukan Setan untuk Ditakuti, Netralitas Bukan Tuhan untuk Dipuja: Tanggapan atas Esai Keberpihakan oleh Maman S. Mahayana

(Tulisan ini merupakan salah satu hasil tugas dari kelas penulisan populer yang saya ambil di semester terakhir perkuliahan.)

Dalam esainya berjudul Keberpihakan, Maman S. Mahayana mengusik rekan pers yang tidak menjunjung netralitas, objektivitas, dan kejujuran dalam pemberitaan. Sebagai konsumen media massa, penulis tahu betul pentingnya nilai jujur dan objektif jurnalis dalam menyampaikan datanya. Peran jurnalis di sini layaknya dokter menangani pasien. Jika tidak jujur dan transparan mengenai kondisi pasiennya, kematian  bisa jadi taruhannya. Begitu juga dengan jurnalis, kebenaran di negeri ini bisa mati; musnah tanpa ada bekas. Kemudian siapa yang bisa rakyat percaya ketika pemerintah mengecewakan kita semua selain kebenaran yang berhasil diungkapkan oleh rekan pers. Lalu bagaimana dengan nilai satu lagi, netralitas?

Pertama-tama, apakah ada suatu teks (wacana) yang benar-benar netral? Setiap teks yang diciptakan pasti mengandung sebuah pesan dan maksud tertentu kepada pembaca. Jika pun sebuah teks mencoba untuk netral, namun pembaca atau audiens tidak akan bisa netral. Kita sebagai pembaca setelahnya pasti akan selalu menyimpulkan posisi kita terhadap berita yang dibaca atau ditonton secara sadar atau tidak sadar. Sekurang-kurangnya pasti kita akan selalu memiliki tanggapan dan opini pribadi. Opini pribadi ini muncul ke permukaan karena kita akan coba untuk mengaitkan informasi yang dibaca atau ditonton dengan pengalaman pribadi, pengetahuan, maupun latar belakang sosial; kedudukan yang dimiliki. Hal tersebut pastinya akan berbeda-beda pada masing-masing individu. Pemberitaan dengan topik yang sama akan memiliki reaksi yang berbeda-beda. 

Contohnya seperti pemberitaan mengenai visi dan misi gubernur dan wakil gubernur. Isi berita cukup netral memang hanya penjabaran poin-poin tersebut. Namun sebagai audiens yang membaca atau menonton akan setuju atau tidak dengan beberapa poin. Misal beberapa dari golongan pebisnis makro dan mikro akan condong setuju dengan pasangan A karena mereka memasukkan beberapa program yang secara langsung dan tidak langsung turut mendukung golongan pebisnis. Di sisi lain, golongan masyarakat menengah seperti ibu rumah tangga memutuskan tidak setuju dengan golongan A ini karena dianggap tidak visi dan misi mereka tidak mengayomi masyarakat kelas menengah seperti mereka, dsb.

Tentang netralitas, ia dianggap begitu sakral di dalam dunia pers tanah air karena seakan dijadikan faktor penjamin kredibilitas sebuah berita. Padahal jika bicara tentang kredibilitas, bukannya lebih penting bagaimana data yang disajikan. Dari mana data tersebut diperoleh, kapan, dan oleh siapa. Permasalahan keberpihakan maupun netralitas itu sebenarnya perkara sudut pandang yang disuguhkan kepada pembaca atau audiens. Mengutip dari yang ditulis oleh Mahayana ‘Ada salah satu media elektronik yang pemberitaannya bersumber pada satu kubu belaka. Bahkan tokoh-tokoh yang diwawancarainya juga berasal dari satu kubu itu saja. [..] Bagaimana mungkin pers yang konon menjunjung tinggi netralitas; objektivitas, dan kejujuran dalam mengangkat fakta, dapat terjerumus pada semacam obral vulgarisme; sama sekali tidak menunjukkan netralitasnya.’

Kultur pers Indonesia yang begitu menjunjung netralitas harga mati itu sepertinya harus menoleh sedikit kepada pers di negara lain, seperti misalnya Prancis. Hal ini tidak memberi anggapan bahwa pers Prancis sempurna (karena tidak ada yang sempurna), namun anggap saja seperti melaksanakan studi banding. Di dalam dunia politik Prancis dan negara-negara Barat lainnya, ada yang dikenal dengan aliran politik, kiri (sosialis atau pro-rakyat) dan kanan (republikan, konservatif).  Kedua aliran ini juga tercermin dalam pemberitaan media massa, terutama media tertulis. Dalam hal ini, sudah dapat terlihat jelas bahwa setiap media di Prancis pasti berpihak kepada suatu kubu. Misal pada media beraliran kanan, golongan republikan yang conding pro-pemerintah akan lebih memunculkan narasumber tokoh yang memegang pemerintahan saat itu. Kemudian membangun citra yang condong baik mengenai Presiden atau kebijakan yang dibuatnya (*Melalui analisis wacana kritis beberapa media Prancis yang pernah dilakukan dalam sebuah mata kuliah). Sangat menarik ada sebuah berita yang sama, dikemas oleh dua media yang beraliran oposisi dengan judul yang berbeda. Hal ini bukan bentuk konspirasi subjektif untuk menjatuhkan suatu pihak, namun untuk mengkritisi satu sama lain dan menjadikan dinamika politik seimbang dengan tujuan kesejahteraan bersama.

Keberpihakan dalam suatu pemberitaan, terutama dalam kancah politik sering kali menimbulkan kecurigaan, seperti reaksi Mahayana terhadap suatu pemberitaan di dalam esainya. Kecurigaan memang selalu harus dihadirkan dan diikuti oleh bukti-bukti oleh setiap individu ketika menerima sebuah informasi. Jangan memakan mentah-mentah informasi-informasi yang dijembreng di depan mata kita, sekalipun kepada media dengan cap ‘netral. Acap kali netralitas dalam sebuah teks juga patut dipertanyakan. Apakah teks ini sengaja dibuat netral demi pihak yang berkuasa? Yang dijadikan sebagai sebuah selimut untuk menutupi dan membungkam sudut pandang kritis suatu individu atau kelompok. Jika ya, ini bisa celaka. Oleh karena itu, netralitas dalam kasus seperti ini malah menjadi penghambat dan mereduksi kebebasan berpendapat yang merupakan hak asasi masing-masing individu. Jangan begitu naif menganggap netral itu selalu baik, jangan ingin dibisukan atas nama netralitas. Oleh karena itu, keberpihakan dalam pemberitaan tidak perlu selalu dianggap sebagai amoral, dosa besar atau malah setan yang harus ditakuti! Berpihaklah dengan mata dan hati terbuka, serta pikiran jernih. 

No comments:

Post a Comment